Koleksi arieArie KoleksiPhotobucket
Selamat Tinggal..... Kenangan yang terindah.....kini hanyalah hayalan belaka.......
SELAMAT DATANG DI BLOG ARIE FIRMANSYAH

Rabu, 12 Maret 2008

MANAJEMEN PERUBAHAN SEJARAH

Kehancuran dan kejayaan sebuah negeri adalah siklus sejarah, tepatnya adalah sebuah sunatullah sebagaimana yang Allah swt firmankan dalam surat Ali Imran ayat 140, ”dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada.”

Di antara pergiliran siklus itu, ada jembatannya, yaitu krisis. Secara sederhana bisa dikatakan bahwa perubahan adalah buah dari krisis. Dan dalam krisis itu ada berkahnya, sebagaimana yang Allah swt sampaikan dalam ayat di atas, krisis itu yang akan membedakan orang-orang yang beriman dan agar sebagian dari kita dijadikan-Nya gugur sebagai syuhada. Maka deretan nama pahlawan dan orang-orang besar dalam sejarah memiliki satu kesamaan; mereka dilahirkan dalam krisis. Berikutnya, kunci agar krisis itu bisa mengantarkan kepada keadaan yang lebih baik adalah dengan mengambil pelajaran dari siklus-siklus (kejayaan dan kehancuran) umat-umat sebelumnya.

Sudah menjadi sunatullah seperti dalam ilmu sosial maupun ilmu alam bahwa perubahan dari satu kondisi ke kondisi lain selalu melewati fase yang relatif lebih sulit. Oleh karena itu para pakar manajemen sering menyebutkan bahwa asumsi dasar untuk perubahan adalah; sebagian besar orang takut untuk berubah. Untuk menyadarkan kebanyakan orang yang bercara pandang semacam ini kita harus mengatakan kepada mereka; berubah memang sulit, tapi tidak mau berubah jauh lebih sulit lagi.

Jika kita lihat dengan cara pandang tersebut, itulah yang menjadi misi para Nabi. Para Nabi dan Rasul selalu diutus ke sebuah umat yang kondisi masyarakatnya sama, yaitu mereka nyaman (jumud) dengan kesesatannya dan tidak mau (sulit) diajak untuk berubah. Maka di situ lah para Nabi dan Rasul memainkan perannya sebagai seorang master Crisis Manager.

Kemauan melewati krisis lah yang berhasil mengeluarkan seorang Bilal ra dari seorang budak menjadi seorang yang sangat mulia, yang terompahnya sudah ada di surga walau Bilal masih di dunia. Sebaliknya keengganan melewati krisis lah yang menyebabkan Abu Lahab cs dilaknat Allah swt, mereka enggan melewati krisis karena takut melepaskan pengaruh dan kekuasannya di Mekah. Belajar dari Nabi Yusuf as, jika kita saksikan kisah hidupnya di dalam Al Qur’an, yang sepanjang hidupnya adalah krisis, dan di akhirnya adalah kemenangan yang nyata. Dan sekali lagi, keengganan melewati krisis lah yang menjadikan pertolongan Allah pada Bani Israil dengan menenggelamkan Fir’aun berakhir dengan tragis. Mereka dihukum dengan terdampar di Padang Tih selama empat puluh tahun. Karena mereka menolak untuk berjuang masuk ke tanah yang dijanjikan, Palestina (QS Al Ma’idah 21-24).

Krisis ekonomi yang berat, great depresion pada tahun 1920-an, menjadikan Amerika Serikat menjadi negara adidaya setelahnya. Begitu pula negara-negara maju yang ada sekarang seperti Jepang, Inggris, Jerman, dan Perancis semuanya pernah mengalami masa-masa yang sulit dalam perjalanannya. Karena krisis itu diawali oleh orang-orang maju dan dari krisis itu pula lahir orang-orang maju.

Oleh karena itu, hal pertama yang harus kita miliki adalah paradigma yang positif tentang krisis. Kedua, menjadikan diri kita sebagai subjek bukan objek dari krisis. Ketiga, bagaimana kita, para pelaku tersebut, memanaje krisis agar perubahannya menuju arah yang lebih baik.

Bagaimana Krisis Tercipta
Allah swt berfirman dalam surat Al A’raaf ayat 96, ”Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan.” Pada hakikatnya krisis adalah symptomp, gejala atas sesuatu yang tak beres dalam tubuh sebuah masyarakat. Krisis bisa pula dikatakan keadaan di mana terbentak jurang menganga antara kenyataan dan harapan. Dan itu semua bermula dari pelanggaran atas aturan main yang dibuat oleh Yang membuat kehidupan itu sendiri agar manusia bahagia dalam hidupnya.

Perubahan dan Orang-Orang yang Sedikit
Nabi Musa as adalah kisah yang paling fenomenal, bagaimana sebuah perubahan terjadi. Fenomenal dari musuh yang dihadapi. Fenomenal dari jumlah pelakunya. Fenomenal dari hasil akhirnya. Yaitu bahwa Nabi Musa as hanya seorang diri dibantu saudaranya Nabi Harun as menghancurkan kekuasaan yang terjahat dan terkuat sepanjang sejarah, Fir’aun. Selain itu banyak lagi peristiwa yang tercatat dalam sejarah yang menjelaskan bahwa pelaku perubahan jumlahnya selalu sedikit. Keyakinan ini pula yang membawa pasukan Thalut mengalahkan diktator bengis Jalut yang jumlahnya banyak dan kuat. Padahal waktu itu sebagian besar dari pasukan Thalut telah desersi karena tidak taat kepada larangan Thalut untuk tidak minum air di sungai yang dilewati. Dan mereka pun berdo’a, ”betapa banyak kelompok kecil mengalahkan kelompok besar dengan izin Allah” (Al Baqarah: 249). Do’a inilah yang menjadi sunatullah dalam sebuah proses perubahan.

Sejarawan besar Amerika, Arnold Toynbee, pernah menyebutkan bahwa perubahan selalu dimulai oleh sekelompok kecil dalam masyarakat yang ia sebut creative minority. Demikian pula kalau kita menelaah pembagian peran di masyarakat. Kelompok kecil yang sering disebut elit lah yang menentukan ”nasib” sebagian besar masyarakat grass root. Demikian piramida sosial bekerja. Selain itu dalam ilmu manajemen ada yang dikenal dengan Hukum Paretto yang menyebutkan bahwa delapan puluh persen peran dalam sebuah organisasi dijalankan oleh dua puluh persen orang di organisasi tersebut. Dan sebaliknya, delapan puluh persen orang hanya menjalankan dua puluh persen peran di organisasi tersebut.

Dalam teori tentang lapisan masyarakat dalam konteks perubahan yang sering dijadikan ”doktrin” oleh para aktivis gerakan disebutkan bahwa ada tiga lapisan dalam piramida masyarakat secara politik. Pertama adalah golongan yang sedikit dan menentukan arah (kebijakan) masyarakat karena mereka memiliki kekuatan dan kekuasaan politik, yaitu golongan elit. Kekuasaan politik ini akan kuat apabila ia ditunjang oleh kekuatan material dan intelektual sekaligus. Dan apabila semuanya menyatu dalam kepemimpinan yang zalim maka saat itu lah sejarah sedang ditulis dengan lumuran darah.

Kedua adalah grass root atau golongan alit, yaitu golongan masyarakat kebanyakan yang menjadi objek kebijakan golongan elit. Mereka biasanya adalah golongan yang terlemahkan (mustdh’afin) karena ketidakadilan secara struktural yang ada di masyarakat. Contoh dari ketidakadilan struktural ini adalah seperti yang Allah swt larang dalam surat Al Hasyr ayat 7, ”agar harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu”. Dan itulah yang hari ini terjadi di dunia seperti yang disampaikan John Perkins dalam Confession of An Economic Hit Man. Dalam buku itu disampaikan bahwa sekitar 80 persen kekayaan di dunia dimiliki oleh 20 persen penduduk dunia. Dan ternyata 20 persen penduduk dunia lain hanya menguasai sekitar satu persen saja kekayaan dunia.

Ketiga adalah yang bukan termasuk kedua golongan tersebut, mereka disebut middle class. Pada dasarnya golongan ketiga ini adalah masyarakat biasa, tetapi mereka terkuatkan. Baik berupa kekuatan intelektual maupun kekuatan material. Dan kekuatan tersebut bukan sesuatu yang given, melainkan sesuatu yang diproses. Golongan middle class secara politik adalah kekuatan laten. Kekuatan tersimpan yang disebabkan kekuatan materi dan/atau intelektual yang mereka miliki. Dalam sejarah mereka lah yang sering memainkan peran dalam perubahan. Yang paling mencolok adalah revolusi Perancis 1789. Saat itu golongan intelektual yang dimotori oleh Voltaire, Rosseau, dan Montesquie berkolaborasi dengan golongan pedagang yang disebut golongan borjuis untuk mengakhiri kekuasaan diktator Louis XIV.

Yang menjadi hambatan signifikan dalam perubahan adalah jika middle class ini tidak tercerahkan. Karena mereka telah hidup mapan mereka menjadi nyaman dengan kekuatan yang dimiliki sehingga memilih status quo. Akibatnya mereka menjadi buta dan tuli terhadap permasalahan-permasalahan yang ada. Pencerahan tersebut yaitu berupa kesadaran bahwa mereka harus bermanfaat bagi orang lain dan mereka memiliki tanggung jawab atas kekuatan, harta atau pun ilmu, yang mereka miliki akan kemaslahatan masyarakatnya.
Itu artinya perubahan bukan lah monopoli middle class sebagai pelopornya. Lebih tepat jika dikatakan bahwa middle class adalah akselerator perubahan yang signifikan. Seperti kita ketahui dalam Sirah Nabawiyah bahwa generasi sahabat pertama kali justru sebagian besar berasal dari golongan ”lemah”. Seperti orang tua, anak-anak, atau budak seperti Bilal bin Rab’ah ra dan keluarga yang tidak berkedudukan di masyarakat seperti keluarga Yassir radiyallahu anhum. Kemudian perubahan pun terakselerasi saat sahabat yang memiliki kekuatan seperti Umar bin Khatab ra bergabung.

Sekali lagi perlu dicatat bahwa yang dimaksud dengan elit, middle class, dan grass root di sini bukanlah yang dimaksud oleh ideologi ”kiri” tentang pertentangan kelas. Konteks di sini adalah analisis struktur pelaku perubahan saat suatu masyarakat berada dalam persimpangannya. Sedangkan pertentangan kelas adalah paham tentang dialektika sejarah di mana sejarah akan menuju titik kematangannya melalui serangkaian dialektika (benturan) kelas-kelas di masyarakat. Sehingga akan berujung pada sebuah masyarakat ideal yang sama rata sama rasa yang mereka sebut komunis.

Oleh karena itu bisa disimpulkan bahwa yang menjadi ciri dari subjek dalam sebuah krisis/perubahan adalah; relatif sedikit jumlahnya, memiliki kekuatan (intelektual dan material), dan kuncinya; tercerahkan. Dan satu hal lagi yang akan melipatgandakan kekuatannya; organisasi.

Kuantitas Versus Kualitas
Apakah suatu kebetulan atau memang sebuah sunatullah bahwa kualitas selalu berbanding terbalik dengan kuantitas. Banyak dalam Al Qur’an ayat yang mengidentikan jumlah yang sedikit dengan kualitas yang baik seperti ”sedikit di antara mereka yang mengambil pelajaran”, ”sedikit di antara mereka yang bersyukur”, ”sedikit di antara mereka yang berpikir”, dan sebagainya. Dan sebaliknya, banyak ayat yang mengidentikan jumlah yang banyak dengan kualitas yang rendah, seperti kisah pasukan Thalut yang sebagian besarnya tumbang di tengah jalan.

Begitu pun yang diungkap dalam hadits tentang kedaan umat Islam di akhir zaman yang ibarat makanan yang diperebutkan orang-orang rakus. Saat itu sahabat bertanya apakah jumlah mereka sedikit. Rasulullah saw menjawab bahwa jumlahnya sangat banyak tetapi ibarat buih karena dijangkiti penyakit wahn (cinta dunia dan takut mati). Juga kalau kita pelajari sirah nabawiyah dan perjuangan setelahnya akan kita dapati bahwa hampir dalam semua peperangan jumlah pasukan kaum muslimin lebih sedikit dibandingkan musuhnya. Kecuali dalam satu peperangan yaitu Perang Hunain, yang justru pada perang itu pasukan kaum muslimin nyaris kalah.

Isyarat akan kekuatan orang-orang yang sedikit secara gamblang disampaikan dalam surat Al Anfaal ayat 65, ”Jika ada dua puluh orang yang sabar di antara kamu, niscaya mereka akan mengalahkan dua ratus orang musuh. Dan jika ada seratus orang (yang sabar) di antara kamu, niscaya mereka dapat mengalahkan seribu orang kafir.” Sendiri mulanya Rasulullah saw berjuang, kurang lebih seratus dua puluh orang tiga belas tahun kemudian, dan akhirnya 120 ribu orang yang beliau tinggalkan sepuluh tahun setelah itu.

Dengan demikian kita dapat menyimpulkan bahwa pilot dalam sebuah krisis selalu sangat sedikit jumlahnya sebagaimana pilot pesawat terbang. Namun demikian pilot tidak mungkin bekerja sendirian. Ia membutuhkan ko-pilot, pramugari, teknisi, dan aircrew lainnya. Dan makin besar pesawatnya jumlah mereka pun harus lebih banyak lagi, namun yang pasti mereka tidak akan lebih banyak dari jumlah penumpangnya. Seperti itu pula gerakan-gerakan kebangkitan Islam dewasa ini. Seperti Ikhwanul Muslimin yang hanya seorang pada awalnya, yaitu Hasan al Banna di Mesir pada tahun 1920-an. Dan kini gerakannya telah meluas ke hampir seluruh penjuru dunia khususnya negeri-negeri Islam. Tetapi ternyata sampai saat ini gerakan-gerakan tersebut masih kekurangan krunya, karena sebagian besar lebih memilih menjadi penumpang saja.

Lalu mengapa orang-orang berkualitas selalu sedikit? Jawabannya karena mereka tumbuh dalam krisis dan hanya sedikit orang yang mau masuk dan menjadi subjek krisis tersebut. Karena begitu seseorang memilih untuk menjadi berkualitas artinya ia telah memilih jalan yang mendaki dan sukar (al aqabah). Dan mengapa mereka memilihnya? Karena dengan jalan itulah mereka termasuk dalam golongan kanan (QS. Al Balad: 11-18). Dengan demikian alasan yang logis untuk menjadi berkualitas, yang berarti harus menempuh jalan mendaki dan sukar, adalah alasan keimanan. Di sini lah manajemen krisis berpangkal.

Mencetak Orang-Orang Soleh yang Kuat dalam Satu Gerakan
Pada hakikatnya, bagaimana kemenangan itu terjadi adalah sesuatu yang Allah swt janjikan dalam Surat An Nuur ayat 55, ”Allah telah menjanjikan kepada orang-orang di antara kamu yang mengerjakan kebajikan, bahwa Dia sungguh akan menjadikan mereka berkuasa di bumi sebagaimana Dia telah menjadikan orang-orang sebelum mereka berkuasa, dan sungguh dia akan meneguhkan bagi mereka dengan agama yang telah Dia ridhai. Dan Dia benar-benar mengubah (keadaan) mereka, setelah berada dalam ketakutan menjadi aman sentosa. Mereka (tetap) menyembah-Ku dengan tidak mempersekutukan-Ku dengan sesuatu pun. Tetapi barangsiapa (tetap) kafir setelah (janji) itu, maka mereka itulah orang-orang yang fasik.” Aksiomanya memang sesederhana itu. Kemenangan, perubahan menuju perbaikan, dan kejayaan hanya lah bagi mereka yang mengerjakan kebajikan (beramal soleh).

Umar bin Khattab ra dalam sebuah atsar pernah menyampaikan, bahwa musibah besar terjadi di sebuah negeri apabila kekuatan di tangan orang-orang jahat dan orang-orang baiknya dalam kondisi lemah. Demikian puncak kehancuran yang terjadi pada zaman Fir’aun, di mana kekuatan-kekuatan menjelema berkolaborasi dalam satu kekuatan kejahatan. Kekuatan itu sendiri diwakili oleh tiga icon yaitu Qarun, simbol kekuatan harta. Hamman, simbol kekuatan intelektual. Serta Fir’aun sendiri yang merupakan simbol kekuatan politik dan militer yang sekaligus menghimpun itu semua. Saat itu sunnguh perut bumi jauh lebih baik dari pada di punggungnya, seperti yang disampaikan dalam suatu hadits yang berbeda.

Begitu pun sebaliknya saat kekuatan itu di tangan orang-orang yang baik seperti di zaman para sahabat. Di mana kekuatan intelektual diwakili oleh sahabat seperti Ibnu Abbas, Abu Hurairah, serta Ali bin Abi Thalib dan yang lainnya. Kekuatan ekonomi diwakili oleh Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin ’Auf. Serta kekuatan politik dan militer yang diwakili oleh Abu Bakar, Umar, dan Khalid bin Walid radiyallahu’anhum. Dan uniknya, sebagian besar sahabat juga menguasai bidang yang lain hampir sama baiknya. Mereka adalah para pendekar yang tangguh, cendikiawan yang cemerlang, bisnisman handal, suami yang romantis, dan ayah yang lembut sebagaimana mereka adalah ahli ibadah yang zuhud.

Maka kunci percepatan sebuah gerakan perubahan adalah bagaimana menyatukan manusia-manusia besar ini sekaligus menciptakan lagi manusia-manusia besar yang lain menjadi sebuah tim yang solid. Manusia yang besar sebagai seorang hamba bagi Tuannya, sekaligus manusia yang besar sebagai pemimpin sebagaimana tujuannya diciptakan. Maka orang-orang besar itu yang berdo’a seperti Ali bin Abi Thalib ra, ”Ya Allah letakanlah dunia di tangan ku, dan jauhkanlah ia dari hatiku”. Saat ini kita menanti manusia-manusia besar, para crisis manager yang di hatinya hanya akhirat, namun dunia ada dalam genggaman tangannya. Dan hati mereka bertemu, jiwa mereka berkumpul dalam satu gerak karena ketaatan dan kecintaan kepada Pencipta-nya, teladannya, dan umatnya. Dalam berkahnya jama’ah. Utuh.



0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda


arie koleksi